| Risiko bencana terdiri dari unsur-unsur (peluang terjadinya) ancaman, kerentanan, keterpaparan, dan kapasitas. Hal ini merupakan rangkuman umum hasil kajian risiko bencana yang memberikan gambaran skenario kejadian dan asumsi dampak bencana yang mungkin terjadi. Berdasarkan keterangan Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD tidak menyusun dokumen KRB periode 2019-2023. Dokumen KRB terakhir yang digunakan oleh BPBD Kabupaten Bima adalah KRB periode 2014-2018. Dari data KRB periode 2014-2018 diketahui jenis bencana dan kapasitas keterpaparan bencana pada pemerintah Kabupaten Bima sebagai berikut. Tabel 3 Kajian Risiko Bencana 2014-2018 No Jenis Bencana Tingkat Keterpaparan Tingkat Kapasitas Tingkat Risiko 1 Banjir Sedang Rendah Tinggi 2 Cuaca Ekstrim Sedang Rendah Tinggi 3 Epidemi dan Wabah Penyakit Rendah Rendah Sedang 4 Gempa Bumi Rendah Rendah Sedang 5 Gelombang Ekstrim dan Abrasi Sedang Rendah Tinggi 6 Kekeringan Rendah Rendah Tinggi 7 Kebakaran Hutan dan Lahan Sedang Rendah Tinggi 8 Letusan Gunung Api Sedang Rendah Tinggi 9 Tanah Longsor Sedang Rendah Tinggi 10 Tsunami Rendah Rendah Sedang Sumber: Draf Dokumen KRB Tahun 2014-2018 Dari gambaran tabel di atas, Pemerintah Kabupaten Bima telah mengidentifikasi jenis bencana yang memiliki risiko tinggi yaitu banjir, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim dan abrasi, kebakaran hutan dan lahan, letusan gunung api, dan tanah longsor. Kompleksitas dari jenis permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Hal ini selaras dengan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana atau disebut sebagai KRB dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan dan rincian anggarannya. Kegiatan perencanaan penanggulangan bencana menghasilkan output berupa dokumen RPB. Dalam melaksanakan penyusunan perencanaan penanggulangan bencana, Pemerintah Kabupaten Bima telah melakukan hal-hal sebagai berikut. a. Menyusun draf KRB, RPB dan RAD-PRB tahun 2014-2018; b. Menyusun draf RPB dan RAD-PRB tahun 2022-2026, namun draf tersebut belum disahkan; c. Melakukan rapat koordinasi terkait penyusunan KRB, RPB, dan RAD-PRB tahun 2024-2028; d. Menyusun draf KRB, RPB dan RAD-PRB tahun 2024-2028; e. Mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk pengkajian risiko bencana pada draf KRB 2024-2028; dan f. Draf RPB tahun 2024-2028 telah memuat pengenalan dan pengkajian ancaman bencana, pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana dan alokasi tugas, kewenangan, serta sumber daya yang tersedia. Namun demikian, tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dicapai dalam melaksanakan penyusunan perencanaan penanggulangan bencana, masih terdapat hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan perencanaan penanggulangan bencana pada Kabupaten Bima, yaitu: 3.1.1. KRB Kabupaten Bima Belum Ditetapkan Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang melanda. Potensi dampak negatif yang timbul dihitung berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas kawasan tersebut. Potensi dampak negatif ini dilihat dari potensi jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan. Pemerintah Kabupaten Bima telah menyusun draf KRB dan RPB periode 2014-2018 yang difasilitasi oleh BNPB. KRB yang difasilitasi oleh BNPB tersebut disusun oleh Adventist Development and Relief Agency (ADRA). Hasil reviu dokumen dan wawancara kepada Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan diketahui hal-hal sebagai berikut. a. BPBD, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Sekretariat Daerah dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (Dinas PUPR) Kabupaten Bima pada tahun 2024 telah menyusun draf KRB 2024-2028; b. Penyusunan draf KRB 2024-2028 belum menggunakan tenaga ahli yang kompeten; c. Draf KRB 2024-2028 belum melalui proses diskusi publik maupun dilakukan proses legislasi; dan d. Hasil reviu draf KRB tahun 2024-2028, diketahui bahwa: 1) Penyusunan draf KRB 2024-2028 belum berpedoman pada Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana Hasil analisa atas draf KRB 2024-2028, terdapat beberapa perbedaan dalam penyusunan sistematika, yaitu pada Bab 1-Sub Bab 1.3 pada draf KRB 2024-2028 dituliskan sasaran kegiatan merupakan langkah-langkah yang akan digunakan sebagai upaya dalam mencapai tujuan kegiatan Penyusunan Peta KRB Kabupaten Bima. Sasaran yang akan dicapai adalah tersusunnya album peta risiko bencana dan KRB. Sementara pada pedoman tertulis Ruang Lingkup yang memuat batasan kajian, dimana pengkajian risiko bencana terbatas pada: a) Pengkajian tingkat ancaman; b) Pengkajian tingkat kerentanan; c) Pengkajian tingkat kapasitas; d) Pengkajian tingkat risiko bencana; dan e) Kebijakan penanggulangan bencana berdasarkan hasil kajian dan peta risiko bencana. 2) Penyusunan draf KRB 2024-2028 belum menggunakan data yang update dan lengkap Dalam penyusunan kajian risiko bencana diperlukan data-data untuk memenuhi kebutuhan kajian pada indeks bahaya/ancaman, indeks kerentanan, dan indeks kapasitas. Data-data tersebut secara rinci disajikan pada Lampiran 3. Data-data yang dibutuhkan tersebut selanjutnya diolah menjadi bahan kajian risiko bencana sesuai jenis bencana. Perhitungan risiko bencana dapat menggunakan rumus yang telah ditetapkan dalam pedoman umum pengkajian risiko bencana, yaitu: Berdasarkan hasil reviu pada kertas kerja penyusunan draf KRB 2024-2028, diketahui terdapat beberapa permasalahan, yaitu: a) Kertas kerja indeks bahaya/ancaman yang disusun oleh tim penyusun KRB menggunakan data dari aplikasi Peta InaRisk BNPB. Untuk membaca data tersebut digunakan aplikasi ArcGIS, sehingga dapat diketahui kelas ancaman/bahaya (tinggi, sedang, rendah) pada masing-masing kecamatan berdasarkan jenis bencananya. Namun, informasi peta bahaya Kabupaten Bima pada InaRisk merupakan peta tahun 2013 atau belum terdapat pembaruan data peta pada tahun 2024. Pengkajian indeks bahaya bisa dianalisa atau dikaji ulang seperti indeks keterpaparan dan indeks kapasitas. Akan tetapi data seperti tinggi gelombang tsunami dan sebagainya terbatas, sehingga menjadi kendala dalam pengkajian indeks bahaya. Atas hal tersebut, tim penyusun KRB 2024-2028 mencuplik data KRB tahun 2022-2026 milik BPBD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun demikian, berdasarkan hasil pemeriksaan atas aplikasi peta bahaya InaRisk Provinsi NTB masih menggunakan peta lama yaitu peta tahun 2021. Sehingga, cuplikan data yang digunakan tersebut belum termutakhir sesuai kondisi sebenarnya terjadi di lapangan. b) Kertas kerja indeks kerentanan lingkungan dalam kajian KRB salah satunya menggunakan data tutupan lahan yang diperoleh dari Dinas PUPR. Namun data yang digunakan tersebut merupakan data yang belum update, yaitu data dari peta citra tahun 2015-2016. Sehingga untuk hasil olahan pada indeks kerentanan lingkungan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. c) Kertas kerja indeks kerentanan fisik saat ini masih menunggu data untuk harga bangunan baik rumah, fasilitas umum, maupun fasilitas kritis yang ada pada Kabupaten Bima. Untuk harga bangunan, tim penyusun KRB akan bekerja sama dengan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Dinas Perkim), Dinas PUPR, Badan Pengelolaan, Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengetahui harga bangunan per jenis bangunan (Kelas A, Kelas B, Kelas C). Dalam draf KRB masih menggunakan asumsi untuk jumlah bangunan rumah berdasarkan jumlah penduduk (satu rumah dihuni oleh lima orang), setelah itu dikalikan dengan asumsi harga rumah per unitnya. Atas hal tersebut, draf KRB belum didukung data yang lengkap untuk melakukan pengkajian atas indeks kerentanan fisik. d) Kertas kerja indeks kapasitas belum dapat diselesaikan. Hal ini dikarenakan tim penyusun KRB perlu melakukan survei kesiapsiagaan masyarakat spesifik daerah kelurahan/desa. Hasil survei tersebut kemudian akan dilakukan skoring per kecamatan. Pada tingkat kabupaten, penentuan kelas kapasitas disimpulkan berdasarkan rata-rata indeks kapasitas seluruh desa yang terdapat di Kabupaten Bima. Atas hal tersebut, tim penyusun KRB belum memiliki data yang lengkap untuk melakukan pengkajian atas indeks kapasitas. 3.1.2. RPB dan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Belum Ditetapkan RPB merupakan perencanaan atau kerangka kerja yang memuat seluruh kebijakan, strategi, dan pilihan tindakan untuk mencapai sasaran penyelenggaraan, tata kelola penanggulangan bencana, dan/atau aksi pengurangan risiko bencana pada tiap tahapan dalam siklus penanggulangan bencana; prabencana, saat bencana, dan pascabencana. RPB memiliki fungsi untuk menjadi perekat dari masing-masing instansi dan pedoman untuk mengetahui tugas dan fungsi masing-masing OPD dalam penanggulangan bencana, serta dapat dijadikan dasar pengintegrasian ke dalam perencanaan pembangunan daerah. Pemerintah Kabupaten Bima telah menyusun draf RPB 2024-2028, namun demikian masih terdapat beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut. a. RPB dan RAD masih berupa draf dan belum ditetapkan menjadi dokumen yang sah dan legal, sehingga belum dapat menjadi dasar penyusunan program/kegiatan penanggulangan bencana pada BPBD maupun OPD terkait lainnya; b. Hasil reviu draf RPB dan RAD 2024-2028, diketahui hal-hal sebagai berikut. 1) Penyusunan RPB belum mengacu pada KRB Penyusunan draf RPB dan KRB disusun secara bersamaan dan masih menggunakan data KRB 2014-2018. Sehingga, identifikasi masalah pokok penanggulangan bencana yang menjadi dasar isu strategis dalam draf RPB tersebut masih merujuk pada kondisi risiko bencana yang terdapat dalam draf KRB 2014-2018 dan belum menggambarkan kondisi risiko bencana yang update. 2) Proses penyusunan RPB belum sesuai Pedoman Proses penyusunan RPB Daerah meliputi persiapan, pelaksanaan penyusunan, dan penetapan yang disusun melalui mekanisme dan proses partisipatif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan penanggulangan bencana di daerah. Alur proses penyusunan RPB sesuai Pedoman Penyusunan RPB 2021 yang dikeluarkan oleh BNPB sebagai berikut. Gambar 3 Alur Penyusunan RPB sesuai Pedoman BNPB 2021 Proses penyusunan RPB dimulai dengan dibentuknya tim teknis ataupun tim penyusun. Pembentukan Tim Teknis/Tim Penyusun didahului dengan pertemuan koordinasi Pimpinan OPD dan pemangku kepentingan kebencanaan di daerah. Pertemuan ini ditujukan untuk mensosialisasikan agenda dan kerangka kerja penyusunan RPB Daerah, hasil KRB Daerah dan penjabaran kebutuhan sumber daya dan personil Tim Teknis. Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD sebagai Ketua Tim Pelaksana Kegiatan untuk Penyusunan RPB Kabupaten Bima Tahun 2024-2028 diketahui bahwa Tim penyusun RPB 2024-2028 telah terbentuk sejak 18 Maret 2024. Sedangkan rapat penyusunan RPB dilaksanakan hanya satu kali sejak pembentukan tim yaitu pada tanggal 6 Mei 2024 dengan melibatkan Penanggung Jawab, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Tim Penyusun RPB dengan tambahan delapan Staf BPBD Kabupaten Bima. Agenda rapat kegiatan penyusunan RPB tersebut membahas terkait penyamaan persepsi dan langkah yang harus diambil dalam penyusunan RPB. 3) Struktur dan tugas Tim Penyusun RPB belum sesuai Pedoman Pedoman Penyusunan RPB tahun 2021 menyatakan bahwa BPBD sebagai koordinator penyusunan RPB, membentuk Tim Penyusun untuk mengorganisasikan, memfasilitasi, menyiapkan rancangan dokumen, dan memastikan substansi dokumen. Struktur Tim Penyusun terdiri dari Tim Teknis, Penulis, Fasilitator, dan Sekretariat. Penyusunan RPB 2024-2028 dilaksanakan oleh BPBD dengan membentuk Tim Pelaksana Kegiatan untuk menyusun RPB Kabupaten Bima Tahun 2024-2028 sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 188.45/190/07.4 Tahun 2024 tanggal 18 Maret 2024. Tim Penyusun RPB terdiri atas Pengarah, Penanggung jawab, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan delapan anggota. Dalam SK pembentukan tim tersebut memuat tugas Tim Penyusun RPB bersifat menyeluruh dan fungsi dari personil yang ada belum terdapat pembagian tugas sesuai pedoman penyusunan RPB. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, diketahui bahwa pada saat penyusunan Tim, BPBD belum mengetahui adanya Pedoman Penyusunan RPB tahun 2021. Penyusunan tim dilakukan dengan memilih Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pernah ikut serta dalam penyusunan RPKB dan Renkon Banjir. Perbandingan antara struktur dan rincian tugas Tim Penyusun RPB dalam Pedoman dengan SK Tim Penyusun RPB selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. 4) Penyusunan program dan kegiatan penanggulangan bencana belum diselaraskan dengan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB) Dalam sistem perencanaan penanggulangan bencana, arah kebijakan dan strategi RPB menjadi rujukan dokumen perencanaan teknis yang disusun dan ditetapkan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan penanggulangan bencana dalam setiap tahapan siklus bencana. Salah satunya pada tahap prabencana adalah tersedianya dokumen RAD-PRB. RAD-PRB adalah kumpulan program, kegiatan dan sub kegiatan yang komprehensif dan sinergis dari seluruh pemangku kepentingan. RAD-PRB tersebut disusun untuk mencapai indikator kinerja dari program penanggulangan bencana yang ada pada RPB. Dengan demikian dokumen RAD-PRB merupakan satu kesatuan dengan RPB. Program dan kegiatan/aksi yang dimuat dalam RAD-PRB merupakan komitmen daerah dalam mengelola risiko bencana untuk jangka waktu lima tahun sejak RPB ditetapkan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, RPB berikut dengan RAD-PRB merupakan bagian dari perencanaan pembangunan. Sebagai dokumen perencanaan berjangka menengah atau lima tahun, posisi RPB setara dengan RPJMD pada tingkat daerah. Dalam teknis penyusunannya, RPB menjadi salah satu materi penelaahan penyusunan RPJMD dan sebaliknya RPJMD menjadi dasar pertimbangan penelaahan penyusunan RPB. RPJMD menurut Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 diturunkan dalam bentuk operasional yaitu Rencana Perangkat Daerah seperti Renstra dan Rencana Kerja Perangkat Daerah. Dokumen tersebut memuat program/kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat Daerah. Posisi dan kedudukan RPB dalam sistem perencanaan pembangunan daerah, disajikan sebagai berikut. Hasil telaah atas dokumen program dan kegiatan terkait penanggulangan bencana yang dianggarkan oleh OPD periode tahun 2023 sampai dengan semester I tahun 2024 diketahui bahwa Kabupaten Bima telah menganggarkan program/kegiatan terkait penanggulangan bencana yaitu pada BPBD, Dinas Sosial (Dinsos), Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Dinas Perkim. Namun hasil wawancara dengan Pejabat Fungsional Perencana pada empat OPD tersebut, diketahui bahwa penyusunan program dan kegiatan penanggulangan bencana yang sudah dianggarkan belum diselaraskan dengan RAD-PRB. Hal ini disebabkan OPD tidak mengetahui adanya dokumen tersebut serta tidak terdapat arahan dari Bappeda. Dalam periode tahun 2023 s.d. Semester I tahun 2024, OPD telah menyusun program dan kegiatan berdasarkan RPJMD, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-5889 Tahun 2021 tentang Hasil Verifikasi dan Inventarisasi Pemutakhiran Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal dan turunannya. Rincian program, kegiatan, dan sub kegiatan dengan tujuan penanggulangan bencana pada empat OPD beserta besaran anggaran dan realisasinya disajikan pada Lampiran 5. Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Perencanaan Pengendalian Penelitian dan Pengembangan Bappeda diketahui bahwa dalam penyusunan RPJMD 2021-2026 belum diselaraskan dengan program/kegiatan pada RAD-PRB. Verifikasi yang dilakukan Bappeda atas program/kegiatan yang dimasukkan oleh OPD dalam Renstra sampai menjadi Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) hanya memperhatikan kesesuaian dengan RPJMN, RPJMD, Rencana Strategis Kementerian Lembaga (Renstra KL), SPM, dan Capaian kinerja per Program tahun sebelumnya. 5) Pemerintah Kabupaten Bima belum melakukan pengurangan risiko bencana secara memadai Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana mengamanatkan agar dibentuk suatu Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB). Pembentukan forum tersebut dengan melibatkan para pemangku kepentingan, yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, non pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam upaya penanggulangan bencana. Partisipasi aktif dari para pihak dalam forum juga mendorong adanya mekanisme pemantauan dan evaluasi atas penyelenggaraan kegiatan penanggulangan bencana di daerah. Dampak dari terjadinya bencana tidak hanya dirasakan oleh pemerintah daerah, namun juga non pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat termasuk di dalamnya pemerintah tingkat desa. Pemkab Bima belum membentuk FPRB. Tahun 2024 Pemkab Bima sedang dalam proses penyusunan RAD PRB tahun 2024-2028 yang melibatkan OPD terkait, seperti Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Sekretariat Daerah, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMDes), Dinsos, dan Dinkes serta BPBD sesuai SK Bupati Nomor 188.45/190/07.4 Tahun 2024. Atas permasalahan-permasalahan di atas, pejabat terkait menjelaskan bahwa: a. Kepala Pelaksana BPBD periode 2019-2021 menyatakan bahwa dokumen KRB dan RPB tahun 2014-2018 belum ditetapkan menjadi peraturan daerah yang sah disebabkan keterbatasan biaya. Dengan demikian pengesahan dokumen perencanaan penanggulangan bencana yang bersifat kelembagaan seperti KRB dan RPB belum menjadi prioritas BPBD. Dokumen tersebut dianggap tidak secara langsung memberikan dampak pada masyarakat korban bencana; b. Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD periode 2019-2023 menyatakan bahwa dokumen RPB tahun 2022-2026 belum diusulkan dan belum masuk dalam proses legislasi peraturan daerah. Hal ini terjadi karena pada saat proses penyusunan RPB, personil yang bersangkutan dimutasi ke OPD lain. Selain itu, dalam proses mutasi personil tidak diikuti dengan transfer informasi terkait proses penyusunan RPB Tahun 2022-2026 kepada pejabat baru; dan c. Pejabat Fungsional Perencana pada empat OPD yang menganggarkan program/kegiatan penanggulangan bencana periode tahun 2023 s.d. semester 1 tahun 2024 menyatakan bahwa OPD menyusun program dan kegiatan belum mempertimbangkan RAD di dalam RPB tahun 2014-2018 dan RPB tahun 2022-2026. |
| a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pada: 1) Pasal 6 a) ayat (2) menyatakan bahwa perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya; b) ayat (3) menyatakan bahwa perencanaan penanggulangan bencana meliputi: a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat; c. analisis kemungkinan dampak bencana; d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia; c) ayat (5) menyatakan bahwa Rencana Penanggulangan Bencana ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; dan d) ayat (6) menyatakan bahwa Rencana Penanggulangan Bencana ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana; 2) Pasal 8 a) ayat (5) menyatakan bahwa rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari pemerintah daerah, non pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah yang bersangkutan yang dikoordinasikan oleh BPBD; dan b) ayat (6) menyatakan bahwa Rencana Aksi Daerah ditetapkan oleh kepala BPBD setelah dikoordinasikan dengan instansi/lembaga yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan daerah dengan mengacu pada rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana. 3) Pasal 12 a) ayat (1) menyatakan bahwa setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana; b) ayat (2) menyatakan bahwa analisis risiko bencana disusun berdasarkan persyaratan analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana; dan c) ayat (3) menyatakan bahwa analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota, pada Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa kegiatan pelayanan informasi rawan bencana paling sedikit memuat: 1) Penyusunan Kajian Risiko Bencana; 2) Komunikasi informasi dan edukasi rawan bencana. c. Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana pada: 1) BAB II Konsepsi a) Sub Bab 2.2 Prinsip Pengkajian Risiko Bencana: Pengkajian risiko bencana memiliki ciri khas yang menjadi prinsip pengkajian. Oleh karenanya pengkajian dilaksanakan berdasarkan: (1) Data dan segala bentuk rekaman kejadian yang ada; (2) Integrasi analisis probabilitas kejadian ancaman dari para ahli dengan kearifan lokal masyarakat; (3) Kemampuan untuk menghitung potensi jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan; dan (4) Kemampuan untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko bencana b) Sub Bab 2.6 Masa Berlaku: Masa berlaku kajian risiko bencana daerah adalah 5 tahun. Hal ini disebabkan karena salah satu fungsi utama kajian ini adalah untuk menjadi dasar penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Seperti yang diketahui, masa perencanaan penanggulangan bencana adalah selama 5 tahun. Kajian risiko bencana dapat ditinjau secara berkala setiap 2 tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana dan kondisi ekstrim yang membutuhkan revisi dari kajian yang telah ada. 2) BAB VII Penyajian a) Berdasarkan sifat penggunaannya, maka prinsip penyajian hasil pengkajian risiko bencana adalah: (1) Sederhana; Penyajian hasil pengkajian risiko bencana harus dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat dan pemangku kebijakan. Penggunaan istilah yang asing sedapat mungkin ditekan, dan bila dibutuhkan istilah tersebut disusun dalam sebuah daftar istilah tersendiri. Untuk menjaga kesederhanaan dan keringkasan, Dokumen Kajian Risiko Bencana disusun tidak lebih dari 100 halaman. (2) Komprehensif; Komprehensivitas hasil pengkajian risiko bencana diperoleh dengan menggunakan standarisasi format penyajian Dokumen Kajian Risiko Bencana dan Peta Risiko Bencana. Penggunaan format standar ini diharapkan dapat memberikan batasan minimal kebutuhan informasi yang harus diberikan kepada pengguna hasil pengkajian risiko bencana. (3) Resmi/legal; Hasil pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar penyusunan rencana kebijakan daerah terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagai dasar, hasil kajian harus dikeluarkan secara resmi. Oleh karenanya baik dokumen maupun peta harus disahkan oleh lembaga yang berwenang di pemerintah. b) Sub Bab 7.1 Penyajian Dokumen Kajian Risiko Bencana: Untuk menjaga penggunaan dokumen, maka dokumen disusun tidak lebih dari 100 halaman untuk setiap daerah kajian. Selain itu dokumen ini perlu dilegislasi untuk kemudian disosialisasikan. Penyajian Dokumen Kajian Risiko Bencana terdiri dari bab-bab sebagai berikut (1) Ringkasan Eksekutif (2) Bab 1: Pendahuluan (3) Bab 2: Kondisi Kebencanaan (4) Bab 3: Kajian Risiko Bencana (5) Bab 4: Dasar Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana (6) Bab 5: Kesimpulan dan Penutup (7) Lampiran meliputi: (a) Perhitungan Indeks Pengkajian Risiko Bencana (suplemen untuk Bab 4) (b) Peta Ancaman Bencana (ukuran A4-suplemen Bab 5) (c) Peta Kerentanan Daerah (ukuran A4-suplemen Bab 5) (d) Peta Kapasitas Daerah (ukuran A4-suplemen Bab 5) (e) Hasil Perhitungan Kapasitas Daerah (suplemen untuk Bab 3) d. Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana BAB IX Pengesahan menyatakan bahwa Dalam penyusunan rencana penanggulangan bencana, hendaknya dilegalkan dengan ditandatangani oleh instansi yang berwenang (Kepala Wilayah). Hal tersebut selain mempunyai kekuatan hukum untuk dapat dilaksanakan, juga dapat menjadi perekat dari masing-masing instansi sekaligus untuk mengetahui tugas dan fungsi masing-masing pelaku di dalam wilayah tersebut; e. Pedoman BNPB tentang Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Tahun 2021 pada: 1) BAB II Kerangka Pemikiran Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana a) poin C.1.1 menyatakan bahwa Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana merupakan dokumen yang memuat tentang rencana aksi/kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana. Dokumen Renaksi PRB ini memuat kepentingan dan tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Dokumen ini juga merupakan satu kesatuan dengan RPB di mana dokumen renaksi PRB merupakan dokumen teknis yang lebih operasional. Rencana-rencana aksi PRB tersebut telah diintegrasikan dan disinergikan dengan dokumen perencanaan pembangunan, seperti perencanaan tata ruang, program perubahan iklim, pengurangan kemiskinan, dan program-program nasional lainnya. Bagi organisasi non pemerintah, dokumen renaksi PRB merupakan sebuah komitmen dalam upaya PRB. b) poin C.2 menyatakan bahwa RPB disusun agar setiap kegiatan pada setiap tahapan penanggulangan bencana dapat berjalan dengan terarah dan terkoordinasi dengan baik di mana posisi dan kedudukan RPB: (1) Menjadi pedoman bagi semua pemangku kepentingan penanggulangan bencana di daerah, baik Pemerintah, Pemda, Masyarakat, NGO, Lembaga Usaha Akademisi; (2) Memuat kerangka kerja prabencana, saat tanggap darurat, pascapencana; (3) Memuat rencana aksi pengurangan risiko bencana di daerah; (4) Memuat semua jenis ancaman bencana yang ada di daerah; dan (5) Menjadi induk penanggulangan bencana dari rencana-rencana lainnya. 2) BAB III Mekanisme dan Proses Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana a) poin A.1 menyatakan bahwa sebagai koordinator, BPBD atau Bappeda, dapat membentuk Tim Penyusun untuk mengorganisasikan, memfasilitasi, menyiapkan rancangan dokumen, dan memastikan substansi dokumen. Struktur Tim Penyusun dapat terdiri dari Tim Teknis, Penulis, Fasilitator, dan Sekretariat; b) poin A.8 menyatakan bahwa Rencana Penanggulangan Bencana harus ditetapkan sebagai peraturan atau perundangan daerah yang menjadi lembar daerah. Bentuk legal RPB dapat ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah ataupun Peraturan Daerah. Legalisasi ini penting untuk memastikan mempunyai kekuatan hukum agar dapat dilaksanakan. Selain itu, hal ini dapat menjadi perekat dari masing-masing instansi dan sekaligus untuk mengetahui tugas dan fungsi masing-masing pelaku di dalam wilayah tersebut, serta dapat dijadikan dasar pengintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah dan perencanaan di daerah lainnya; c) poin B menyatakan bahwa proses penyusunan RPB Daerah meliputi persiapan, pelaksanaan penyusunan, dan penetapan yang disusun melalui mekanisme dan proses partisipatif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan penanggulangan bencana di daerah; d) poin C.1.2.2 Koordinasi Pimpinan OPD dan Stakeholder Kebencanaan menyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat dilibatkan dalam pertemuan koordinasi multipihak sebagai sosialisasi awal kegiatan penyusunan RPB Daerah adalah Forum PRB; dan e) poin C.2.1.6 Perumusan Program dan Rencana Aksi menyatakan bahwa Sebagai rencana, RAD PRB menggambarkan program kegiatan, aksi kegiatan, dan indikator kegiatan dalam 5 (lima) tahun mendatang yang komprehensif dan sinergis dengan rencana pembangunan daerah dan nasional. 3) Bab IV Struktur dan Isi Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana pada Poin B Panduan Penulisan menyatakan bahwa pada Bab 5 Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana menyajikan tentang program dan kegiatan/aksi sebagai komitmen daerah dalam mengelola risiko bencana pada 5 tahun ke depan. f. Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Bencana Daerah pada: 1) Pasal 6 menyatakan bahwa tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a) pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan daerah dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah; b) perlindungan masyarakat dari ancaman dan dampak bencana; c) pengalokasian dana penanggulangan bencana daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai pada setiap tahap prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana; d) penjaminan pemenuhan hak dasar masyarakat korban bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum meliputi pangan, pelayanan kesehatan, kebutuhan air bersih dan sanitasi, sandang, penampungan dan tempat hunian sementara, dan pelayanan psikososial; dan e) pemulihan kehidupan sosial ekonomi, budaya dan lingkungan, keamanan dan ketertiban masyarakat, infrastruktur, dan fasilitas umum yang rusak akibat bencana. 2) Pasal 19 a) ayat (2) menyatakan bahwa Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya; b) ayat (3) menyatakan bahwa Perencanaan penanggulangan bencana meliputi: (1) pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; (2) pemahaman tentang kerentanan masyarakat; (3) analisis kemungkinan dampak bencana; (4) pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; (5) penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan (6) alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia; c) ayat (4) menyatakan bahwa Penyusunan rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh BPBD; d) ayat (5) menyatakan bahwa Rencana penanggulangan bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; dan e) ayat (6) menyatakan bahwa Rencana penanggulangan bencana ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana. 3) Pasal 21 ayat (3) menyatakan bahwa Rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum atau oleh tim khusus yang terdiri atas unsur dari pemerintah daerah, non pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah yang dikoordinasikan oleh BPBD. g. Kriteria Pemeriksaan Kinerja atas Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim untuk Peningkatan Ketahanan Bencana dan Iklim Tahun Anggaran 2023 s.d. Semester I Tahun 2024 pada Pemerintah Kabupaten Bima dan Instansi Terkait Lainnya, untuk aspek Penyusunan Perencanaan Penanggulangan Bencana dilaksanakan melalui proses yang memadai yaitu: 1) Kriteria 1.1 menyatakan bahwa Pemda telah menyusun Kajian Risiko Bencana (KRB) secara memadai; 2) Kriteria 1.2 menyatakan bahwa Pemda telah menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dalam rangka menjamin terselenggaranya Penanggulangan Bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; dan 3) Kriteria 1.3 menyatakan bahwa BPBD telah menyusun Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana sesuai dengan Peraturan. |