| LRA Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah TA 2021
menyajikan anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari PBB P2 senilai
Rp22.110.079.000,00 dengan realisasi senilai Rp13.543.548.677,26 atau
61,26% dari anggaran. Sedangkan saldo pendapatan PBB-P2 dalam Laporan
Operasional (LO) adalah senilai Rp23.913.577.217,00. Neraca Pemerintah
Kabupaten Lombok Tengah per 31 Desember 2021 menyajikan saldo piutang
PBB-P2 senilai Rp66.336.086.877,29.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui masih terdapat kelemahan
pengendalian dalam proses pengelolaan PBB-P2 oleh Badan Pendapatan
Daerah (Bapenda) sebagai berikut:
a. Sistem pencatatan dan pelaporan PBB-P2 dalam SIM-PBB belum mencakup
seluruh transaksi pembayaran PBB-P2 dan tidak didukung dengan mekanisme
rekonsiliasi antar bidang terkait di Bapenda
Penyajian nilai piutang PBB P2 di Neraca per 31 Desember 2021
berdasarkan data penghitungan dan pemutakhiran piutang dari Bapenda.
Kepala Subbidang Pelaporan Bapenda menjelaskan bahwa posisi piutang PBB
P2 dimutakhirkan berdasarkan Buku Kas Umum (BKU), rekapitulasi
penerimaan mingguan, daftar penerimaan harian (DPH), potongan Surat
Tanda Terima Setoran dan Surat Tanda Setoran (STS) yang diterima dari
Bendahara Khusus Penerimaan (BKP) di masing-masing kecamatan.
Pemutakhiran dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan saldo piutang
tahun sebelumnya, nilai penetapan massal, dan penerimaan pokok atau
pelunasan tunggakan setiap tahunnya. Pemutakhiran tersebut dilaksanakan
berdasarkan nilai utuh per tahun pajak per kecamatan tanpa dilengkapi
rincian per NOP per tahun pajak.
Hasil konfirmasi secara uji petik kepada BKP Kecamatan Praya, Kepala
Subbidang Pelaporan, dan Kepala Subbidang Pendataan dan Penetapan yang
diwakili oleh Operator Console (OC) aplikasi SIMPBB diketahui penjelasan
sebagai berikut.
1) Bendahara Khusus Penerimaan Kecamatan Praya
Pelaporan realisasi penerimaan oleh BKP kepada Bapenda dilaksanakan
dengan cara menyampaikan dokumen/data berupa DPH, STS, dan potongan
STTS, tanpa disertai dengan pelaporan rekapitulasi penerimaan mingguan
secara berkala.
2) Kepala Subbidang Pelaporan
Dokumen yang diterima Subbidang pelaporan dari BKP berupa DPH dan STS
yang selanjutnya disusun menjadi laporan realisasi penerimaan dan
tunggakan PBB P2. Laporan tersebut sebagai dasar pemutakhiran posisi
piutang dengan terlebih dahulu menguji kesesuaian nilai realisasi pada
dua dokumen tersebut. Laporan tersebut diberikan kepada bidang akuntansi
BPKAD guna menyajikan saldo piutang PBB2 per 31 Desember 2021.
3) Kepala Subbidang Pendataan dan Penetapan dan OC SIMPBB
Dokumen yang diterima Subbidang Pendataan dan Penetapan dari BKP berupa
potongan STTS. Potongan STTS disampaikan kepada OC untuk kepentingan
update posisi piutang pada aplikasi SIMPBB dengan cara melakukan entri
data secara manual satu per satu berdasarkan informasi NOP dan tahun
pajak yang tersaji pada potongan STTS.
Kepala Subbidang Pelaporan menjelaskan bahwa pihaknya tidak dapat
menyajikan nilai piutang per NOP per tahun pajak dan menyampaikan bahwa
rincian tersebut seharusnya tersaji pada aplikasi SIMPBB. Laporan yang
diberikan OC terkait dengan nilai piutang per NOP per tahun pajak
berbeda dengan nilai piutang yang disajikan oleh Subbidang Pelaporan. OC
menjelaskan bahwa pemutakhiran database piutang pada SIMPBB secara
manual serta belum didukung oleh hasil rekonsiliasi bersama BKP di
setiap kecamatan menjelang akhir tahun.
Hasil pemeriksaan data tunggakan periode tahun 2021 subbidang pelaporan
dibandingkan dengan SIMPBB OC menunjukkan terdapat perbedaan nilai
tunggakan yang disajikan pada laporan keuangan. Laporan tunggakan
senilai Rp10.911.157.846,74 dengan nilai pada SIMPBB senilai
Rp13.112.095.088,00 yang menyebabkan selisih pelaporan tunggakan
pembayaran PBB TA 2021 senilai Rp2.200.937.241,26.
b. Keterlambatan pembayaran SPPT Tahun 2021 oleh wajib pajak tidak
dikenakan denda keterlambatan
Pajak terutang berdasarkan SPPT yang telah diterbitkan tahun berkenaan
harus dilunasi paling lambat enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
oleh wajib pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen pembayaran
PBB-P2 diketahui bahwa terdapat pembayaran pokok PBB-P2 yang telah
melewati jatuh tempo namun tidak dikenakan denda administrasi.
Kepala Bidang PBB-P2 BPHTB menjelaskan bahwa juru pungut tidak
mengenakan denda atas keterlambatan pelunasan oleh wajib pajak
dikarenakan rendahnya kesadaran dan kepatuhan perpajakan masyarakat
Lombok Tengah sehingga penagihan hanya difokuskan atas nilai pokok.
Namun, wajib pajak tetap diperkenankan membayar denda keterlambatan
untuk selanjutnya ditatalaksanakan oleh juru punguts sebagai bagian dari
capaian target yang tidak mengurangkan nilai pokok piutang.
c. Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah belum memutakhirkan NJOP Tanah dan
Bangunan
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP, menurut Peraturan Daerah tentang
PBB-P2 besarnya NJOP ditetapkan oleh Bupati setiap tiga tahun, kecuali
untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya. Hasil pemeriksaan diketahui bahwa Bupati Lombok
Tengah belum menetapkan kembali NJOP Tanah dan Bangunan yang sudah
melewati tiga tahun.
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak.
Hasil pemeriksaan terhadap perhitumgan PBB-P2 diketahui bahwa dasar
pengenaan pajak yang digunakan oleh Bapenda masih berdasarkan Keputusan
Bupati Nomor 584 Tahun 2015 tentang Penetapan NJOP Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Lombok Tengah sebagai dasar pengenaan
PBB-P2.
d. Bidang PBB P2 BPHBTB Bapenda tidak melakukan validasi dan pengawasan
atas wajib pajak yang sudah maupun belum melakukan penyetoran pajak
PBB-P2
Pada TA 2021 realisasi pendapatan pajak daerah PBB-P2 Pemerintah
Kabupaten Lombok Tengah senilai Rp13.543.548.677,26. Berdasarkan
rekapitulasi pendapatan pajak PBB-P2 diketahui penyetoran pajak PBB-P2
senilai Rp13.543.548.677,26Hasil wawancara dengan Kepala Bidang PBB-P2
BPHTB diketahui bahwa nilai penyetoran senilai Rp13.543.548.677,26 tidak
terdapat rincian nama wajib pajak yang melakukan penyetoran pajak
PBB-P2 TA 2021. Lebih lanjut, Bidang Pendapatan BPPKAD tidak melakukan
validasi dan pengawasan atas wajib pajak yang belum menyetorkan pajak
PBB-P2 sehingga piutang pajak atas wajib pajak yang belum melakukan
penyetoran pajak PBB-P2 tidak dapat diketahui kepastiannya. Hal
tersebut menyebabkan Bidang PBB-P2 BPHTB juga tidak dapat menunjukkan
rincian piutang berdasarkan NOP PBB P2.
e. Penagihan PBB-P2 belum dilaksanakan secara memadai
Dasar penagihan atas tunggakan dan angsuran pembayaran PBB-P2 terutang
termasuk bunga serta pengenaan sanksi administrasi berupa denda kepada
wajib pajak menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) yang
diterbitkan oleh Bapenda. Data tunggakan PBB-P2 menunjukkan terdapat
tunggakan yang belum dibayarkan Tahun 2011 s.d.2020 senilai
Rp55.424.929.030,55.
Hasil pemeriksaan pengelolaan penagihan PBB-P2 diketahui Bapenda belum
pernah menerbitkan STPD kepada wajib pajak yang menunggak pajak terutang
dan pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
Kepala Bidang PBB-P2 BPHTB menjelaskan bahwa penagihan tunggakan dan
denda dilakukan oleh juru pungut secara lisan kepada wajib pajak. Selain
itu, dijelaskan bahwa Bupati telah mengeluarkan Surat Edaran pada Tahun
2021 kepada seluruh desa se-Kabupten Lombok Tengah perihal himbauan
untuk membayar PBB-P2. Namun tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat
dalam membayar PBB-P2 yang masih rendah menyebabkan penagihan tunggakan
belum optimal.
f. Anomali Penetapan PBB P2 Tahun Pajak 2021
Pemeriksaan atas pengelolaan database penetapan SPPT tahun pajak 2021
diketahui beberapa anomali dengan rincian sebagai berikut.
1) Objek pajak dengan luas bumi nol, namun masih dikenakan PBB-P2
terutang dengan ketetapan minimal senilai Rp2.759.651,00, 2) Objek pajak
dengan luas bumi dan bangunan nol, namun masih dikenakan PBB-P2
Terutang dengan nilai ketetapan minimal seebsar Rp1.605.000,00, 3)
Terdapat satu objek pajak dengan luas bumi lebih dari nol, namun NJOP
bumi bernilai nol dan dikenakan nilai ketetapan minimal PBB P2 senilai
Rp15.000,00.
4) Objek pajak dengan luas bangunan lebih dari nol, namun NJOP bangunan
bernilai nol untuk penghitungan PBB-P2 terutang minimal senilai
Rp1.671.038,00,
5) Terdapat 49 NOP yang tidak disertai dengan nama wajib pajak yang
jelas dengan nilai ketetapan minimal senilai Rp2.283.353,00,6) Terdapat
29 NOP lembar SPPT yang ganda dan tidak terdapat objek pajak dengan
nilai ketetapan minimal senilai Rp2.069.560,00, 7) Terdapat 116 lembar
SPPT yang diterbitkan terhadap objek pajak yang dikecualikan yang tidak
seharusnya dikenakan PBB-P2 yaitu tanah/bangunan untuk sarana
pemerintahan, sarana ibadah, sarana pendidikan, makam, sarana kesehatan,
dll.
OC SIMPBB menjelaskan bahwa kurangnya anggaran kegiatan, tenaga SDM dan
fasilitas untuk kegiatan pemutakhiran basis data subjek dan objek pajak
(PDSOP) melatarbelakangi kurang handal dan validnya basis data penetapan
yang digunakan oleh Bapenda setiap tahun pajak. |
| Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja, pada Pasal 81 yang menyatakan bahwa Besaran
pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak
setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK07/2018 tentang Pedoman
Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, pada:
1) Pasal 4
a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa NJOP bumi merupakan hasil perkalian
antara total luas areal objek pajak yang dikenakan dengan NJOP bumi per
meter persegi;
b) Ayat (2) menyatakan bahwa NJOP bumi per meter persegi merupakan hasil
konversi NIR per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi; dan
c) Ayat (4) menyatakan bahwa klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah.
2) Pasal 5
a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa NJOP Bangunan merupakan hasil
perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter
persegi;
b) Ayat (2) menyatakan bahwa NJOP Bangunan per meter perseg1 sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ) merupakan hasil konversi nilai bangunan per
meter persegi ke dalam klasifkasi NJOP; dan
c) Ayat (6) menyatakan bahwa Klasifkasi NJOP Bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala
Daerah.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, pada Lampiran:
1) Bab I Pengelola Keuangan Daerah
a) Bagian E Pengguna Anggaran
(1). Poin 1 Huruf a yang menyatakan bahwa Kepala SKPD selaku PA
mempunyai tugas mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung
jawab SKPD yang dipimpinnya; dan
(2). Poin 5 yang menyatakan bahwa mengelola utang dan piutang daerah
yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya merupakan akibat yang
ditimbulkan dari pelaksanaan DPA SKPD.
b) Bagian F Kuasa Pengguna Anggaran, Poin 12 Huruf i yang menyatakan
bahwa dalam hal terdapat unit organisasi bersifat khusus, KPA mempunyai
tugas mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab
SKPD yang dipimpinnya.
d. Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintah Nomor 06 tentang
Akuntansi Piutang Bab III Huruf A menyatakan bahwa nilai piutang pajak
yang dicantumkan dalam laporan keuangan adalah sebesar nilai yang
tercantum dalam SKP yang hingga akhir tahun periode belum
dibayar/dilunasi. Hal ini bisa didapat dengan menginventarisasi SKP yang
hingga akhir tahun periode belum dibayar oleh wajib pajak;
e. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, pada:
1) Pasal 6
a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa Dasar pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP);
b) Ayat (2) yang menyatakan bahwa besarnya NJOP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek
pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan
wilayahnya; dan
c) Ayat (3) yang menyatakan bahwa penetapan besarnya NJOP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kepala daerah.
2) Pasal 13 Ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak wajib
membayar pajak terutang berdasarkan SPPT atau SKPD;
3) Pasal 15
a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa Bupati dapat menerbitkan STPD jika a)
pajak yang terutang tidak atau kurang bayar; b) dari hasil penelitian
SPOP terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau
salah hitung; c) Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda; dan
b) Ayat (3) yang menyatakan bahwa SPPT atau SKPD yang tidak atau kurang
dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi adminsitratif
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dihitung dari pajak
yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran.
4) Pasal 16
a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa pajak yang terutang berdasarkan SPPT
harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh wajib pajak; dan
b) Ayat (3) yang menyatakan bahwa pajak yang terutang pada saat jatuh
tempo pembayarannya tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya
pajak.
5) Pasal 26 Ayat (2) yang menyatakan Bupati menetapkan Keputusan
Penghapusan Piutang pajak yang kedaluwarsa.
|