Semester I Tahun 2022
  18

Sistem Pengendalian Internal Kurang Memadai Mengakibatkan Nilai Piutang PBB P2 per 31 Desember 2021 Tidak Akurat


14-Nov-2023 07:36:36

Kondisi
LRA Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah TA 2021 menyajikan anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari PBB P2 senilai Rp22.110.079.000,00 dengan realisasi senilai Rp13.543.548.677,26 atau 61,26% dari anggaran. Sedangkan saldo pendapatan PBB-P2 dalam Laporan Operasional (LO) adalah senilai Rp23.913.577.217,00. Neraca Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah per 31 Desember 2021 menyajikan saldo piutang PBB-P2 senilai Rp66.336.086.877,29. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui masih terdapat kelemahan pengendalian dalam proses pengelolaan PBB-P2 oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sebagai berikut: a. Sistem pencatatan dan pelaporan PBB-P2 dalam SIM-PBB belum mencakup seluruh transaksi pembayaran PBB-P2 dan tidak didukung dengan mekanisme rekonsiliasi antar bidang terkait di Bapenda Penyajian nilai piutang PBB P2 di Neraca per 31 Desember 2021 berdasarkan data penghitungan dan pemutakhiran piutang dari Bapenda. Kepala Subbidang Pelaporan Bapenda menjelaskan bahwa posisi piutang PBB P2 dimutakhirkan berdasarkan Buku Kas Umum (BKU), rekapitulasi penerimaan mingguan, daftar penerimaan harian (DPH), potongan Surat Tanda Terima Setoran dan Surat Tanda Setoran (STS) yang diterima dari Bendahara Khusus Penerimaan (BKP) di masing-masing kecamatan. Pemutakhiran dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan saldo piutang tahun sebelumnya, nilai penetapan massal, dan penerimaan pokok atau pelunasan tunggakan setiap tahunnya. Pemutakhiran tersebut dilaksanakan berdasarkan nilai utuh per tahun pajak per kecamatan tanpa dilengkapi rincian per NOP per tahun pajak. Hasil konfirmasi secara uji petik kepada BKP Kecamatan Praya, Kepala Subbidang Pelaporan, dan Kepala Subbidang Pendataan dan Penetapan yang diwakili oleh Operator Console (OC) aplikasi SIMPBB diketahui penjelasan sebagai berikut. 1) Bendahara Khusus Penerimaan Kecamatan Praya Pelaporan realisasi penerimaan oleh BKP kepada Bapenda dilaksanakan dengan cara menyampaikan dokumen/data berupa DPH, STS, dan potongan STTS, tanpa disertai dengan pelaporan rekapitulasi penerimaan mingguan secara berkala. 2) Kepala Subbidang Pelaporan Dokumen yang diterima Subbidang pelaporan dari BKP berupa DPH dan STS yang selanjutnya disusun menjadi laporan realisasi penerimaan dan tunggakan PBB P2. Laporan tersebut sebagai dasar pemutakhiran posisi piutang dengan terlebih dahulu menguji kesesuaian nilai realisasi pada dua dokumen tersebut. Laporan tersebut diberikan kepada bidang akuntansi BPKAD guna menyajikan saldo piutang PBB2 per 31 Desember 2021. 3) Kepala Subbidang Pendataan dan Penetapan dan OC SIMPBB Dokumen yang diterima Subbidang Pendataan dan Penetapan dari BKP berupa potongan STTS. Potongan STTS disampaikan kepada OC untuk kepentingan update posisi piutang pada aplikasi SIMPBB dengan cara melakukan entri data secara manual satu per satu berdasarkan informasi NOP dan tahun pajak yang tersaji pada potongan STTS. Kepala Subbidang Pelaporan menjelaskan bahwa pihaknya tidak dapat menyajikan nilai piutang per NOP per tahun pajak dan menyampaikan bahwa rincian tersebut seharusnya tersaji pada aplikasi SIMPBB. Laporan yang diberikan OC terkait dengan nilai piutang per NOP per tahun pajak berbeda dengan nilai piutang yang disajikan oleh Subbidang Pelaporan. OC menjelaskan bahwa pemutakhiran database piutang pada SIMPBB secara manual serta belum didukung oleh hasil rekonsiliasi bersama BKP di setiap kecamatan menjelang akhir tahun. Hasil pemeriksaan data tunggakan periode tahun 2021 subbidang pelaporan dibandingkan dengan SIMPBB OC menunjukkan terdapat perbedaan nilai tunggakan yang disajikan pada laporan keuangan. Laporan tunggakan senilai Rp10.911.157.846,74 dengan nilai pada SIMPBB senilai Rp13.112.095.088,00 yang menyebabkan selisih pelaporan tunggakan pembayaran PBB TA 2021 senilai Rp2.200.937.241,26. b. Keterlambatan pembayaran SPPT Tahun 2021 oleh wajib pajak tidak dikenakan denda keterlambatan Pajak terutang berdasarkan SPPT yang telah diterbitkan tahun berkenaan harus dilunasi paling lambat enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen pembayaran PBB-P2 diketahui bahwa terdapat pembayaran pokok PBB-P2 yang telah melewati jatuh tempo namun tidak dikenakan denda administrasi. Kepala Bidang PBB-P2 BPHTB menjelaskan bahwa juru pungut tidak mengenakan denda atas keterlambatan pelunasan oleh wajib pajak dikarenakan rendahnya kesadaran dan kepatuhan perpajakan masyarakat Lombok Tengah sehingga penagihan hanya difokuskan atas nilai pokok. Namun, wajib pajak tetap diperkenankan membayar denda keterlambatan untuk selanjutnya ditatalaksanakan oleh juru punguts sebagai bagian dari capaian target yang tidak mengurangkan nilai pokok piutang. c. Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah belum memutakhirkan NJOP Tanah dan Bangunan Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP, menurut Peraturan Daerah tentang PBB-P2 besarnya NJOP ditetapkan oleh Bupati setiap tiga tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Hasil pemeriksaan diketahui bahwa Bupati Lombok Tengah belum menetapkan kembali NJOP Tanah dan Bangunan yang sudah melewati tiga tahun. Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak. Hasil pemeriksaan terhadap perhitumgan PBB-P2 diketahui bahwa dasar pengenaan pajak yang digunakan oleh Bapenda masih berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 584 Tahun 2015 tentang Penetapan NJOP Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Lombok Tengah sebagai dasar pengenaan PBB-P2. d. Bidang PBB P2 BPHBTB Bapenda tidak melakukan validasi dan pengawasan atas wajib pajak yang sudah maupun belum melakukan penyetoran pajak PBB-P2 Pada TA 2021 realisasi pendapatan pajak daerah PBB-P2 Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah senilai Rp13.543.548.677,26. Berdasarkan rekapitulasi pendapatan pajak PBB-P2 diketahui penyetoran pajak PBB-P2 senilai Rp13.543.548.677,26Hasil wawancara dengan Kepala Bidang PBB-P2 BPHTB diketahui bahwa nilai penyetoran senilai Rp13.543.548.677,26 tidak terdapat rincian nama wajib pajak yang melakukan penyetoran pajak PBB-P2 TA 2021. Lebih lanjut, Bidang Pendapatan BPPKAD tidak melakukan validasi dan pengawasan atas wajib pajak yang belum menyetorkan pajak PBB-P2 sehingga piutang pajak atas wajib pajak yang belum melakukan penyetoran pajak PBB-P2 tidak dapat diketahui kepastiannya. Hal tersebut menyebabkan Bidang PBB-P2 BPHTB juga tidak dapat menunjukkan rincian piutang berdasarkan NOP PBB P2. e. Penagihan PBB-P2 belum dilaksanakan secara memadai Dasar penagihan atas tunggakan dan angsuran pembayaran PBB-P2 terutang termasuk bunga serta pengenaan sanksi administrasi berupa denda kepada wajib pajak menggunakan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) yang diterbitkan oleh Bapenda. Data tunggakan PBB-P2 menunjukkan terdapat tunggakan yang belum dibayarkan Tahun 2011 s.d.2020 senilai Rp55.424.929.030,55. Hasil pemeriksaan pengelolaan penagihan PBB-P2 diketahui Bapenda belum pernah menerbitkan STPD kepada wajib pajak yang menunggak pajak terutang dan pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Kepala Bidang PBB-P2 BPHTB menjelaskan bahwa penagihan tunggakan dan denda dilakukan oleh juru pungut secara lisan kepada wajib pajak. Selain itu, dijelaskan bahwa Bupati telah mengeluarkan Surat Edaran pada Tahun 2021 kepada seluruh desa se-Kabupten Lombok Tengah perihal himbauan untuk membayar PBB-P2. Namun tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam membayar PBB-P2 yang masih rendah menyebabkan penagihan tunggakan belum optimal. f. Anomali Penetapan PBB P2 Tahun Pajak 2021 Pemeriksaan atas pengelolaan database penetapan SPPT tahun pajak 2021 diketahui beberapa anomali dengan rincian sebagai berikut. 1) Objek pajak dengan luas bumi nol, namun masih dikenakan PBB-P2 terutang dengan ketetapan minimal senilai Rp2.759.651,00, 2) Objek pajak dengan luas bumi dan bangunan nol, namun masih dikenakan PBB-P2 Terutang dengan nilai ketetapan minimal seebsar Rp1.605.000,00, 3) Terdapat satu objek pajak dengan luas bumi lebih dari nol, namun NJOP bumi bernilai nol dan dikenakan nilai ketetapan minimal PBB P2 senilai Rp15.000,00. 4) Objek pajak dengan luas bangunan lebih dari nol, namun NJOP bangunan bernilai nol untuk penghitungan PBB-P2 terutang minimal senilai Rp1.671.038,00, 5) Terdapat 49 NOP yang tidak disertai dengan nama wajib pajak yang jelas dengan nilai ketetapan minimal senilai Rp2.283.353,00,6) Terdapat 29 NOP lembar SPPT yang ganda dan tidak terdapat objek pajak dengan nilai ketetapan minimal senilai Rp2.069.560,00, 7) Terdapat 116 lembar SPPT yang diterbitkan terhadap objek pajak yang dikecualikan yang tidak seharusnya dikenakan PBB-P2 yaitu tanah/bangunan untuk sarana pemerintahan, sarana ibadah, sarana pendidikan, makam, sarana kesehatan, dll. OC SIMPBB menjelaskan bahwa kurangnya anggaran kegiatan, tenaga SDM dan fasilitas untuk kegiatan pemutakhiran basis data subjek dan objek pajak (PDSOP) melatarbelakangi kurang handal dan validnya basis data penetapan yang digunakan oleh Bapenda setiap tahun pajak.
Kriteria
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan: a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pada Pasal 81 yang menyatakan bahwa Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak; b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, pada: 1) Pasal 4 a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa NJOP bumi merupakan hasil perkalian antara total luas areal objek pajak yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi; b) Ayat (2) menyatakan bahwa NJOP bumi per meter persegi merupakan hasil konversi NIR per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi; dan c) Ayat (4) menyatakan bahwa klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah. 2) Pasal 5 a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa NJOP Bangunan merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi; b) Ayat (2) menyatakan bahwa NJOP Bangunan per meter perseg1 sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifkasi NJOP; dan c) Ayat (6) menyatakan bahwa Klasifkasi NJOP Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah. c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, pada Lampiran: 1) Bab I Pengelola Keuangan Daerah a) Bagian E Pengguna Anggaran (1). Poin 1 Huruf a yang menyatakan bahwa Kepala SKPD selaku PA mempunyai tugas mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya; dan (2). Poin 5 yang menyatakan bahwa mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya merupakan akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan DPA SKPD. b) Bagian F Kuasa Pengguna Anggaran, Poin 12 Huruf i yang menyatakan bahwa dalam hal terdapat unit organisasi bersifat khusus, KPA mempunyai tugas mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya. d. Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintah Nomor 06 tentang Akuntansi Piutang Bab III Huruf A menyatakan bahwa nilai piutang pajak yang dicantumkan dalam laporan keuangan adalah sebesar nilai yang tercantum dalam SKP yang hingga akhir tahun periode belum dibayar/dilunasi. Hal ini bisa didapat dengan menginventarisasi SKP yang hingga akhir tahun periode belum dibayar oleh wajib pajak; e. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, pada: 1) Pasal 6 a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); b) Ayat (2) yang menyatakan bahwa besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya; dan c) Ayat (3) yang menyatakan bahwa penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kepala daerah. 2) Pasal 13 Ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak wajib membayar pajak terutang berdasarkan SPPT atau SKPD; 3) Pasal 15 a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa Bupati dapat menerbitkan STPD jika a) pajak yang terutang tidak atau kurang bayar; b) dari hasil penelitian SPOP terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; c) Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda; dan b) Ayat (3) yang menyatakan bahwa SPPT atau SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi adminsitratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran. 4) Pasal 16 a) Ayat (1) yang menyatakan bahwa pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak; dan b) Ayat (3) yang menyatakan bahwa pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayarannya tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak. 5) Pasal 26 Ayat (2) yang menyatakan Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang pajak yang kedaluwarsa.
Akibat
Kondisi tersebut mengakibatkan: a. Penyajian Piutang PBB P2 dalam Neraca per 31 Desember 2021 kurang akurat; b. Potensi tidak tertagihnya Piutang PBB-P2 atas Wajib Pajak/Objek Pajak yang tidak valid dan handal; c. Hilangya kesempatan pemerintah daerah atas pendapatan dari pengenaan denda atas keterlambatan pelunasan tunggakan; dan d. Rentang nilai kelas bumi dan bangunan tidak menggambarkan kondisi NJOP yang senyatanya sesuai dengan perkembangan wilayah.
Sebab
Kondisi tersebut disebabkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah belum memiliki pedoman atas pengelolaan dan penatausahaan piutang PBB-P2 serta kurang optimalnya Kepala Bapenda dan Kepala Bidang PBB-P2 BPHTB dalam pengelolaan PBB-P2 yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Rekomendasi
BPK merekomendasikan Bupati Lombok Tengah agar:
1. Menyusun dan menetapkan pedoman pengelolaan dan penatausahaan piutang PBB-P2 dan memutakhirkan NJOP tanah dan bangunan
2. Menginstruksikan Kepala Bapenda untuk Melakukan rekonsiliasi pencatatan piutang antara Juru Pungut, BKP dan Bidang Pajak dan selanjutnya memutakhirkan database SIM PBB berdasarkan hasil rekonsiliasi serta melaporkan nilai piutang pajak PBB P2 beserta rincian kepada BPKAD
3. Menginstruksikan Kepala Bapenda untuk Melakukan inventarisasi pendataan subjek dan objek PBB P2 dan selanjutnya melakukan pemutakhiran database SIM PBB P2 berdasarkan hasil inventarisasi


Tanya Jawab
Belum ada komentar di diskusi ini.

Silahkan Login Untuk Komentar / Diskusi.
Login Member