Semester I Tahun 2025
  0

Pengelolaan Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Belum Memadai


29-Sep-2025 11:03:46

Kondisi

Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah pada Neraca per 31 Desember 2024 dan 2023 (audited) menyajikan saldo Piutang Pajak Daerah senilai Rp86.378.017.612,07 dan Rp78.286.811.512,74. Saldo Piutang Pajak Daerah tersebut di antaranya merupakan saldo Piutang PBB-P2 senilai Rp86.321.727.662,07.

Hasil pengujian atas database PBB P2 pada aplikasi E-PAD serta wawancara kepada Kasubbid Penagihan, Operator Console (OC) PBB P2 Bapenda, dan BKP Kecamatan Praya dan Kecamatan Jonggat diketahui permasalahan sebagai berikut.

a. Selisih Nilai Piutang PBB P2 pada Neraca dan Database E-PAD

Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah pada Neraca per 31 Desember 2024 menyajikan Piutang PBB-P2 senilai Rp86.321.727.662,07 yang merupakan nilai piutang dari Tahun 2012 s.d. 2024. Hasil pemeriksaan atas data E-PAD menunjukkan bahwa nilai Piutang PBB-P2 untuk Tahun 2012 s.d. 2024 senilai Rp100.833.751.245,00.

b. Data yang Disajikan pada Aplikasi E-PAD Belum Andal

Hasil pengujian atas database E-PAD diketahui bahwa pada Tahun 2024 Bapenda telah menerbitkan SPPT sebanyak 325.095 lembar SPPT dengan total senilai Rp24.082.761.379,00. Atas data SPPT yang telah terbit tersebut dilakukan pengujian lebih lanjut sehingga diketahui anomali data sebagai berikut.


Kriteria

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan pada Lampiran II.02.02 Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan pada:

1) Paragraf 67 menyatakan bahwa “Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal”;

2) Paragraf 69 huruf (c) menyatakan bahwa “Piutang dicatat sebesar nilai nominal”;

b. Buletin Teknis 16 Akuntansi Piutang Berbasis Akrual pada poin 3.1.1.3 menyatakan bahwa “Nilai piutang pajak yang dicantumkan dalam laporan keuangan adalah sebesar nilai yang tercantum dalam SKP yang hingga akhir periode pelaporan belum dilunasi oleh Wajib Bayar. Hal ini bisa didapat dengan melakukan inventarisasi SKP yang hingga akhir periode belum dibayar oleh Wajib Bayar”;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pada:

1) Pasal 10 ayat (1) huruf i menyatakan bahwa “Kepala SKPD selaku PA mempunyai tugas mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya”;

2) Pasal 102 ayat (2) huruf g menyatakan bahwa “Rancangan Perda tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat lampiran paling sedikit terdiri atas daftar piutang daerah”;

3) Pasal 108 huruf h menyatakan bahwa “Rancangan Perkada tentang APBD sebagaimana dimaksud dalam pasal 107 ayat (2) memuat lampiran yang terdiri atas daftar piutang daerah”;

d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, pada Lampiran:

1) Bab I Pengelola Keuangan Daerah

a) Bagian E Pengguna Anggaran:

(1) poin 1 huruf i menyatakan bahwa “Kepala SKPD selaku PA mempunyai tugas mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya”;

(2) poin 5 menyatakan bahwa “Mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya merupakan akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan DPA SKPD”;

b) Bagian F Kuasa Pengguna Anggaran, poin 12 huruf i menyatakan bahwa “Dalam hal terdapat unit organisasi bersifat khusus, KPA mempunyai tugas mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya”;

2) Bab III Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Bagian C Rancangan Perda APBD, Poin 2 Ketentuan Terkait Dokumen Rancangan Perda APBD, huruf a Subpoin 5) b) menyatakan bahwa “Informasi lainnya yang menunjang kebutuhan informasi pada perda APBD antara lain daftar piutang daerah”;

e. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada:

1) Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa “Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:

a) Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah, kantor pemerintahan daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;

b) Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

c) Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;

d) Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

e) Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

f) Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan negara;

g) Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;

h) Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati;

i) Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak Bumi dan/atau Bangunan oleh Pemerintah”;

2) Pasal 6:

a) ayat (1) menyatakan bahwa “Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP”;

b) ayat (2) menyatakan bahwa “NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2”;

c) ayat (3) menyatakan bahwa “NJOP tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”;

d) ayat (4) menyatakan bahwa “Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap tahun Pajak”;

f. Peraturan Bupati Lombok Tengah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek PBB-P2 di Kabupaten Lombok Tengah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bupati Lombok Tengah Nomor 47 Tahun 2018 tentang Perubahan Peraturan Bupati Lombok Tengah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek PBB-P2 di Kabupaten Lombok Tengah pada Pasal 3:

1) ayat (1) menyatakan bahwa “Klasifikasi dan besaran NJOP dijadikan sebagai dasar pengenaan PBB-P2”;

2) ayat (2) menyatakan bahwa “Klasifikasi dan besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati”; dan

3) ayat (3) menyatakan bahwa “Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat NJOP Bumi dan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB)”.


Akibat

Hal tersebut di atas mengakibatkan:

a. Saldo Piutang PBB-P2 pada Neraca 31 Desember 2024 belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya; dan

b. Data objek pajak yang terekam dalam E-PAD tidak andal.


Sebab

Permasalahan tersebut di atas disebabkan Kepala Bapenda belum optimal dalam pengendalian dan pengawasan atas pemutakhiran data objek pajak PBB-P2.

Rekomendasi

BPK merekomendasikan Bupati Lombok Tengah agar menginstruksikan Kepala Bapenda lebih optimal dalam pengendalian dan pengawasan atas pemutakhiran data objek pajak atas PBB-P2. (Belum Sesuai)


Tanya Jawab
Belum ada komentar di diskusi ini.

Silahkan Login Untuk Komentar / Diskusi.
Login Member